Bimbel , Perlukah?
Lembaga Bimbingan Belajar atau yang biasa kita sebut bimbel merupakan lembaga yang menyediakan pelajaran tambahan kepada pihak yang membutuhkan. Ada berbagai tingkatan bimbingan belajar yang tersedia saat ini, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, sampai mahasiswa perguruan tinggi. Lembaga bimbel ini pun tersedia dalam berbagai variasi bentuk, mulai dari bimbingan belajar yang menyediakan kelas besar (berisi lebih dari 20 orang), kelompok belajar (8-10 orang), sampai privat (1-4 orang).
Lembaga bimbel kini menjamur di mana-mana. Berbagai lembaga menawarkan beragam fasilitas yang menjanjikan siswa untuk dapat lebih memahami pelajaran-pelajaran yang diberikan di kelas. Kualitas pengajar, bahan ajar, fasilitas kelas sampai beragam try out dijajakan pengusaha bimbel demi merayu siswa untuk mendaftar di lembaga bimbel tersebut. Biaya pendidikan di bimbel pun bervariasi, mulai dari puluhan ribu sampai puluhan juta. Semua dengan iming-iming yang sama, prestasi dan nilai meningkat, lulus UAN, lolos SNMPTN menuju universitas impian atau bahkan IP 4 (untuk bimbel mahasiswa).
Maraknya fenomena bimbingan belajar ini menjadi hal yang menarik diperbincangkan. Suasana kelas yang tidak kondusif, fasilitas belajar yang tidak memadai, dan guru yang kurang dipercaya siswa dalam memberikan materi dan bahan ajar disekolah dengan membuat siswa berbondong-bondong mencari lembaga bimbingan belajar yang menawarkan sejuta fasilitas. Mindset yang terbentuk di masyarakat Indonesia mengenai keberhasilan seseorang dalam pendidikan juga ikut mempengaruhi fenomena bimbingan belajar ini.
Di Indonesia, keberhasilan siswa dalam pendidikan tercermin dalam angka-angka yang tertera di rapor dan gengsi yang dimiliki sekolah tempat menuntut ilmu. Ada kesan bahwa pelajar yang sukses adalah mereka yang selalu meraih rangking1, selalu meraih nilai 9 dalam pelajaran eksakta, masuk jurusan IPA, lulus dengan NEM tertinggi, lolos SNMPTN ke Perguruan Tinggi favorit dan meraih IP tinggi. Anggapan ini menyebabkan siswa dan orangtua semata-mata menganggap tujuan pendidikan hanya untuk mengejar nilai tinggi. Sementara tujuan pendidikan nasional berdasarkan TAP MPR No II/MPR/1993 yaitu meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja professional, serta sehat jasmani dan rohani. Adanya anggapan yang salah di mata masyarakat mengenai ketercapaian tujuan pendidikan menyebabkan orangtua menekan anak untuk meraih nilai terbaik dalam bidang eksakta. Akibatnya, masyarakat banyak mencari jalan pintas untuk mendapat nilai tinggi, lulus ujian ataupun SNMPTN, salah satunya adalah dengan mengikuti kelas tambahan di lembaga bimbel.
Pada umumnya bimbel menyediakan solusi praktis, rumus-rumus singkat dan cara cepat mengerjakan soal-soal sehingga siswa dapat mengerjakan soal dengan lebih mudah dan efisien. Soal latihan yang diberikan bimbel pun bervariasi dan sangat membantu siswa dalam mengerjakan soal ulangan maupun ujian.
Materi yang kurang dipahami siswa di kelas dapat langsung ditanyakan kepada pengajar bimbel yang akan menjelaskan materi tersebut sampai siswa benar-benar paham. Simulasi Ujian Nasional dan SNMPTN membiasakan siswa mengerjakan soal-soal. Alhasil, banyak siswa yang prestasi sekolahnya meningkat setelah mengikuti program intensif dari bimbel, lulus ujian dengan nilai memuaskan dan diterima di Perguruan tinggi impiannya, Ya, memang lembaga bimbel sangat membantu siswa dalam mengerjakan soal-soal. Namun apakah bimbel meningkatkan kualitas pendidikan, hal itu perlu ditelusuri lebih jauh. Seperti telah dijabarkan di atas, tujuan pendidikan sebenarnya bukanlah nilai yang tinggi, tetapi pengetahuan dan pengalaman yang akan sangat berguna bagi siswa dalam pengembangan dirinya menjadi yaitu manusia yang seutuhnya.
Lembaga bimbingan belajar memberikan solusi cepat dan latihan soal untuk mengondisikan siswa menghadapi ujian. Namun konsep pelajaran yang telah diajarkan di kelas menjadi terlupakan. Siswa terbiasa dengan rumus cepat sehingga analisis masalah dengan konsep dasar menjadi terabaikan. Pelajar cenderung menjadi tidak mandiri, kurang inisiatif, pasif, dan kurang kreatif dalam memecahkan masalah karena terbiasa menerima dan menghapal rumus cepat.
Bimbingan belajar mahasiswa misalnya pada tingkat TPB lebih disayangkan lagi. Banyak dosen yang merasa bimbel telah menurunkan produktivitas dan kreatifitas siswa untuk menyelesaikan soal karena terbiasa cara cepat. Padahal di institusi pendidikan sekelas universitas, semua pendekatan masalah harus dilakukan secara analitis dan terstruktur dengan baik. Pola pikir dan daya penalaran mahasiswa juga mandeg akibat pemberian solusi singkat yang sebenarnya cukup fatal bagi mahasiswa yang hanya menghafal tanpa memahami.
Bimbingan belajar membawa dampak positif dan negative dalam proses pembelajaran. Sebagai masyarakat yang kritis dan berpendidikan kita harus mampu mengondisikan agar segala sesuatu yang kita lakukan bermanfaat. Kondisikan lembaga bimbel sebagai lembaga yang membantu kita dalam belajar, bukan sebagai satu-satunya media untuk belajar. Sebelum memutuskan untuk mengikuti program bimbel ada baiknya kita berusaha dulu untuk memaksimalkan modal dan pelajaran yang diberikan di sekolah atau kelas kuliah. Namun apabila kita ternyata memang membutuhkan mentor dan bimbingan belajar, selektiflah dalam memilih dan jangan terbujuk begitu saja oleh iming-iming bimbel. Selain itu, jangan terlalu bergantung kepada bimbingan belajar. Jangan sampai kita kita menjadi malas memahami konsep, berpikir, dan mengembangkan pengetahuan yang diberikan di kelas hanya gara-gara terbiasa dengan rumus ringkat dan soal-soal latihan bimbel. (Dian Puspita)
Lembaga bimbel kini menjamur di mana-mana. Berbagai lembaga menawarkan beragam fasilitas yang menjanjikan siswa untuk dapat lebih memahami pelajaran-pelajaran yang diberikan di kelas. Kualitas pengajar, bahan ajar, fasilitas kelas sampai beragam try out dijajakan pengusaha bimbel demi merayu siswa untuk mendaftar di lembaga bimbel tersebut. Biaya pendidikan di bimbel pun bervariasi, mulai dari puluhan ribu sampai puluhan juta. Semua dengan iming-iming yang sama, prestasi dan nilai meningkat, lulus UAN, lolos SNMPTN menuju universitas impian atau bahkan IP 4 (untuk bimbel mahasiswa).
Maraknya fenomena bimbingan belajar ini menjadi hal yang menarik diperbincangkan. Suasana kelas yang tidak kondusif, fasilitas belajar yang tidak memadai, dan guru yang kurang dipercaya siswa dalam memberikan materi dan bahan ajar disekolah dengan membuat siswa berbondong-bondong mencari lembaga bimbingan belajar yang menawarkan sejuta fasilitas. Mindset yang terbentuk di masyarakat Indonesia mengenai keberhasilan seseorang dalam pendidikan juga ikut mempengaruhi fenomena bimbingan belajar ini.
Di Indonesia, keberhasilan siswa dalam pendidikan tercermin dalam angka-angka yang tertera di rapor dan gengsi yang dimiliki sekolah tempat menuntut ilmu. Ada kesan bahwa pelajar yang sukses adalah mereka yang selalu meraih rangking1, selalu meraih nilai 9 dalam pelajaran eksakta, masuk jurusan IPA, lulus dengan NEM tertinggi, lolos SNMPTN ke Perguruan Tinggi favorit dan meraih IP tinggi. Anggapan ini menyebabkan siswa dan orangtua semata-mata menganggap tujuan pendidikan hanya untuk mengejar nilai tinggi. Sementara tujuan pendidikan nasional berdasarkan TAP MPR No II/MPR/1993 yaitu meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja professional, serta sehat jasmani dan rohani. Adanya anggapan yang salah di mata masyarakat mengenai ketercapaian tujuan pendidikan menyebabkan orangtua menekan anak untuk meraih nilai terbaik dalam bidang eksakta. Akibatnya, masyarakat banyak mencari jalan pintas untuk mendapat nilai tinggi, lulus ujian ataupun SNMPTN, salah satunya adalah dengan mengikuti kelas tambahan di lembaga bimbel.
Pada umumnya bimbel menyediakan solusi praktis, rumus-rumus singkat dan cara cepat mengerjakan soal-soal sehingga siswa dapat mengerjakan soal dengan lebih mudah dan efisien. Soal latihan yang diberikan bimbel pun bervariasi dan sangat membantu siswa dalam mengerjakan soal ulangan maupun ujian.
Materi yang kurang dipahami siswa di kelas dapat langsung ditanyakan kepada pengajar bimbel yang akan menjelaskan materi tersebut sampai siswa benar-benar paham. Simulasi Ujian Nasional dan SNMPTN membiasakan siswa mengerjakan soal-soal. Alhasil, banyak siswa yang prestasi sekolahnya meningkat setelah mengikuti program intensif dari bimbel, lulus ujian dengan nilai memuaskan dan diterima di Perguruan tinggi impiannya, Ya, memang lembaga bimbel sangat membantu siswa dalam mengerjakan soal-soal. Namun apakah bimbel meningkatkan kualitas pendidikan, hal itu perlu ditelusuri lebih jauh. Seperti telah dijabarkan di atas, tujuan pendidikan sebenarnya bukanlah nilai yang tinggi, tetapi pengetahuan dan pengalaman yang akan sangat berguna bagi siswa dalam pengembangan dirinya menjadi yaitu manusia yang seutuhnya.
Lembaga bimbingan belajar memberikan solusi cepat dan latihan soal untuk mengondisikan siswa menghadapi ujian. Namun konsep pelajaran yang telah diajarkan di kelas menjadi terlupakan. Siswa terbiasa dengan rumus cepat sehingga analisis masalah dengan konsep dasar menjadi terabaikan. Pelajar cenderung menjadi tidak mandiri, kurang inisiatif, pasif, dan kurang kreatif dalam memecahkan masalah karena terbiasa menerima dan menghapal rumus cepat.
Bimbingan belajar mahasiswa misalnya pada tingkat TPB lebih disayangkan lagi. Banyak dosen yang merasa bimbel telah menurunkan produktivitas dan kreatifitas siswa untuk menyelesaikan soal karena terbiasa cara cepat. Padahal di institusi pendidikan sekelas universitas, semua pendekatan masalah harus dilakukan secara analitis dan terstruktur dengan baik. Pola pikir dan daya penalaran mahasiswa juga mandeg akibat pemberian solusi singkat yang sebenarnya cukup fatal bagi mahasiswa yang hanya menghafal tanpa memahami.
Bimbingan belajar membawa dampak positif dan negative dalam proses pembelajaran. Sebagai masyarakat yang kritis dan berpendidikan kita harus mampu mengondisikan agar segala sesuatu yang kita lakukan bermanfaat. Kondisikan lembaga bimbel sebagai lembaga yang membantu kita dalam belajar, bukan sebagai satu-satunya media untuk belajar. Sebelum memutuskan untuk mengikuti program bimbel ada baiknya kita berusaha dulu untuk memaksimalkan modal dan pelajaran yang diberikan di sekolah atau kelas kuliah. Namun apabila kita ternyata memang membutuhkan mentor dan bimbingan belajar, selektiflah dalam memilih dan jangan terbujuk begitu saja oleh iming-iming bimbel. Selain itu, jangan terlalu bergantung kepada bimbingan belajar. Jangan sampai kita kita menjadi malas memahami konsep, berpikir, dan mengembangkan pengetahuan yang diberikan di kelas hanya gara-gara terbiasa dengan rumus ringkat dan soal-soal latihan bimbel. (Dian Puspita)
Komentar
Posting Komentar